BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemerosotan
moral dan memudarnya nilai-nilai kearifan bangsa yang pada jaman dahulu menjadi pondasi bagi keanggunan
bangsa Indonesia di mata Internasional, sehingga saat ini menjadi kegelisahan
semua lapisan masyarakat. Fenomena ini dirasakan sekali perubahannya ketika era
demokrastisasi dijalankan Indonesia pada tahun 2008 lalu. Pada prinsipnya,
demokratisasi tidaklah identik dengan liberalisasi. Namun tidak bisa dipungkiri
bahwa praktik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat mencerminkan perilaku liberalisasi.
Menurut Cholisin (2011) dan Budimansyah (2007); perilaku liberalisasi banyak
dipengaruhi
Pola
perekonomian liberal (neo liberal) yang dicirikan tiga hal, yakni: pragmatisme, individualisme, dan
materialisme. Hal ini berdampak pada berkembangnya sikap dan perilaku politik
transaksional dan kartel. Sikap dan perilaku politik yang demikian, politik
dijadikan komoditas untuk memperoleh keuntungan kekuasaan dan material yang
sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoknya. Kemudian ketika ada penyimpangan
yang dilakukan di antara mereka, di atasi dengan cara saling menutupi.
Pada
ranah sosial, dampak sistem ekonomi neo liberal tersebut telah menggerogoti nilai-nilai
karakter bangsa yang bersandarkan pada Pancasila dengan lima pilar di dalamnya,
yakni: Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan Permusyawaratan, dan
Keadilan sosial. Gejala kemerosotan nilai-nilai karakter Pancasila tersebut
dapat dengan mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat yang banyak diwarnai
oleh sikap individualisme, penggunaan kekerasan dalam pemecahan masalah,
kehancuran rumah tangga karena tidak adanya nilai-nilai keteladanan, dan lain
sebagainya.
Melihat
situasi yang sedemikian memprihatinkan itu, Pemerintah melalui Kemendikbus
telah mencanangkan revitalisasi pendidikan karakter dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, yaitu Pemerintah menjadikan pembangunan
karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional (Tim
Pendidikan Karakter, 2010).
Menurut
Ramly (2011); pendidikan karakter
ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu
mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus untuk mendukung
perwujudan cita-cita yang diamanatkan
dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Belum lagi ditambah dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa
dewasa ini, mendorong pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter
bangsa.
Karakter
adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama,
kebudayaan, hukum/konstitusi, adat-istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga
sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilainilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil (Tim
Pendidikan Karakter, 2010)
Martin
Luther King, Jr., dalam sebuah ceramahnya di Morehouse Colege 1948 menegaskan: “We must remember that intelligence is not
enough. Intelligence plus character—that is the goal of true education”. Kutipan “ceramah” filosuf handal tersebut
menegaskan satu hal bahwa parameter keberhasilan sebuah pendidikan tidak cukup
hanya melahirkan siswa yang memiliki kecerdasan secara intelektual saja, namun
diperlukan intelejensi tambahan yakni karakter, inilah tujuan dari sebuah
pendidikan (Freeforum.org, 2012). Sementara itu, Down berdasarkan pengalamannya
di berbagai negara menyimpulkan, bahwa
tujuan pendidikan itu ada dua, yakni: membantu anak-anak muda menjadi pintar
dan membantu mereka menjadi orang yang baik. Lebih lanjut, Down menegaskan; karakter yang baik tidak bisa dibentuk secara
otomatis. Ia dibentuk melalui proses waktu dalam pendidikan yang berkelanjutan,
melalui teladan, belajar dan praktik
(“Good
character is not formed automatically; it is developed over time through a
sustained process of teaching, example, learning and practice. It is developed
through character education”).
Dalam
konteks Indonesia, pendidikan karakter saat ini sangat penting dilakukan bagi
anak-anak muda di tengah derasnya gempuran pengaruh negatif dari media massa
dan lingkungan. Menyadari kondisi itu,
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan telah melakukan langkah
yang mendorong dunia pendidikan untuk mulai mengintegrasikan pendidikan
karakter dalam proses pendidikan.
Terkait dengan hal itu, posisi guru PKn dalam
mengajarkan pendidikan karakter sangat strategis dalam membangun kepribadian
siswa menjadi generasi muda yang tidak hanya memiliki kecerdasan secara
intelektual saja, namun juga kebaikan karakter sosial, moral, dan agama.
B.
Rumusan Masalah
Dari beberapa
uraian pada latar belakang masalah di atas, penulis menemukan beberapa
permasalahan yang memerlukan pembahasan lebih mendalam, yaitu :
1. Bagaimanakah
Penanaman Nilai – Nilai Menghargai dan Menghormati Perbedaan dalam Pembelajaran
Pkn di Sekolah Dasar Melalui Model VCT ( Value Clarification Tehnique) ?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini dilakukan
untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat
luas. Secara terperinci, tujuan dari penulisan adalah :
1. Untuk
Mengetahui Penanaman Nilai – Nilai Menghargai dan Menghormati Perbedaan dalam
Pembelajaran Pkn di Sekolah Dasar Melalui Model VCT ( Value Clarification
Tehnique)
BAB 11
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan
Kewarganegaraan (Pkn) merupakan mata pelajaran yang lebih identik dengan
pembentukan sikap dan nilai moral. Berdasarkan observasi pratindakan di sekolah
negeri dalam pembelajaran PKn menunjukkan bahwa hasil belajar yang di capai
siswa masih rendah. Selain itu, model pembelajaran yang digunakan guru kurang
bervariasi yaitu Ceramah, Tanya jawab, dan Penugasan, sehingga kurang aktif
dalam dalam pembelajaran dan cenderung bosan mengikuti pelajaran.
Oleh karena itu dalam
pembelajaran PKn, siswa dibina untuk membiasakan atau melakoni isi pesan materi
PKn. Agar tujuan dapat berjalan dengan baik maka sebagai guru PKn hendaknya
menjadi teladan dalam ber-PKn dengan menunjukkan contoh prilaku yang diharapkan
ditiru dan dilaksanakan siswa dalam kehidupan disekolah dan kehidupan
sehari-hari di masyarakat.
Dalam kaitannya dengan
pembelajaran PKn penggunaan berbagai macam model pembelajaran yang tersedia,
tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik tujuan pembelajaran,
karakteristik materi, situasi dan lingkungan belajar siswa, tingkat
perkembangan dan kemampuan belajar siswa, waktu dan kebutuhan belajar bagi
siswa itu sendiri. Dalam PKn dikenal suatu model pembelajaran yaitu, VCT.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang lebih identik dengan
pembentukan sikap dan nilai moral. Berdasarkan pembahasan di atas maka pemakalah
akan membahas tentang penanaman nilai – nilai menghargai dan menghormati
perbedaan dalam pembelajaran Pkn di sekolah dasa melalui model VCT ( Value,
Clarification Tehnique ).
B. Pengertian Model
Pembelajaran VCT
VCT adalah salah satu
teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan nilai.
Djahiri (1979: 115) mengemukakan bahwa Value Clarification Technique,
merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/ mengungkapkan
nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya VCT
berfungsi untuk:
a)
Mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai;
b)
Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang
positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau
pembetulannya;
c)
Menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan
diterima siswa sebagai milik pribadinya.
Dengan kata lain, Djahiri
(1979: 116) menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk “melatih dan membina siswa
tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum
untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat”.
Teknik mengklarifikasi
nilai (value clarification technique)atau sering disingkat VCT
dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari
dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan
melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.Mengapa
perlu pembelajaran VCT ? Pola pembelajaran VCT menurut A. Kosasih Djahiri
(1992), dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena; pertama, mampu
membina dan mempribadikan nilai dan moral; kedua, mampu mengklarifikasi
dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan; ketiga mampu
mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral
dalam kehidupan nyata; keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan
potensi diri siswa terutama potensi afektualnya; kelima, mampu memberikan
pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu menangkal,
meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang
ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang; ketujuh,
menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.
C. Tujuan model VCT sebagai
suatu model dalam strategi pembelajaran moral
VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran
moral bertujuan :
1) Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran
siswa tentang suatu nilai.
2) Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang
dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk
kemudian dibina ke arah peningkatan dan pembetulannya.
3) Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa
melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai
tersebut akan menjadi milik siswa.
4) Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima,
serta mengambil keputusan terhadap sesuatu persoalan dalam hubungannya dengan
kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Pembelajaran VCT menurut
A. Kosasih Djahiri (1992), dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena;
1) Mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral;
2) Mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan
materi yang disampaikan;
3) Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai
moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata;
4) Mampu mengundang, melibatkan, membina dan
mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya;
5) Mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai
kehidupan;
6) Mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan
menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral
yang ada dalam diri seseorang;
7) Menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan
bermoral tinggi.
D. Hal yang harus
diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT
VCT menekankan bagaimana
sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada
gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan
sehai-hari di masyarakat. Dalam praktik pembelajaran, VCT dikembangkan melalui
proses dialog antara guru dan siswa. Proses tersebut hendaknya berlangsung
dalam suasana santai dan terbuka, Sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan
secara bebas perasaannya. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam
mengimplementasikan VCT melalui proses dialog yaitu :
1) Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian
nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral yang menurut guru dianggap baik.
2) Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu
apabila memang siswa tidak menghendakinya.
3) Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan
terbuka, Sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa
adanya.
4) Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada
kelompok kelas.
5) Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa
terpojok, Sehingga ia menjadi defensif.
6) Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.
7) Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.
E. Sistem pendukung yang
diperlukan untuk melaksanakan model pembelajaran VCT
Sistem pendukung adalah
penunjang keberhasilan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di
kelas. Sistem pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan model
pembelajaran VCT adalah sebagai berikut.
1) Tersedianya perpustakaan yang dapat mendukung
proses pembelajaran.
2) Adanya sumber belajaran yang lain dan narasumber
yang dapat dimanfaakan oleh siswa
F. Langkah Model
Pembelajaran VCT
John Jarolimek (1974)
menjelaskan langkah pembelajaran dengan Value clarification technique (VCT)
dalam 7 tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat, setiap tahapan dijelaskan sebagai
berikut.
1) Kebebasan Memilih, Pada tingkat ini terdapat 3
tahap, yaitu:
a)
Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang
menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh
b)
Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan dari
beberapa alternatif pilihan secara bebas;
c)
Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan
timbul sebagai akibat pilihannya.
2) Menghargai, Terdiri atas 2 tahap pembelajaran,
yaitu;
a)
Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya,
sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian dari dirinya;
b)
Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di
depan umum. Artinya, bila kita menggagap nilai itu suatu pilihan, maka kita
akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya di depan orang lain.
3)
Berbuat, Pada tahap ini, terdiri atas 2 tahap, yaitu;
a) Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya
b) Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya.
Artinya, nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya
sehari-hari.
G.
Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia
buat.
Frye
(2002) dan Alberta (2005) mendefinisikan karakter sebagai watak yang melandasi
perilaku individu dalam merespon stimulasi dari luar dirinya dengan moralitas
yang baik. Dengan demikian dalam karakter terdapat tiga elemen penting, yakni:
pengetahua moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan perilaku
moral (moral behavior). Definisi ini
menegaskan adanya konsistensi ketiga aspek dalam diri seseorang antara
pengetahuan, internalisasi dalam diri, dan refleksi dalam perilakunya.
Sementara
itu Suyanto (2010) menyatakan; pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action), tanpa
ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Pembentukan
karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas dinyatakan
bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi
peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia (Sapriya,
2012). Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan
melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan
pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada
satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18
nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing
values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun.
Dalam
rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi
18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5)
kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri,
(8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10)
semangat kebangsaan, (11) cinta
tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar
membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli
sosial, dan (18) tanggung jawab.
H.
Pentingnya
Pendidikan Karakter Bagi Anak Sekolah Dasar
Pendidikan karakter pada anak Sekolah Dasar , dewasa ini sangat di perlukan
di karenakan saat ini Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter dalam
diri anak bangsa. Karakter di sini adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang ,
bepikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan tersebut berupa Sejumlah nilai
moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat pada
orang lain, disiplin, mandiri, kerja keras, kreatif.
Berbagai permasalahan yang melanda bangsa belakangan
ini ditengarai karena jauhnya kita dari karakter. Jati diri bangsa seolah
tercabut dari akar yang sesungguhnya. Sehingga pendidikan karakter
menjadi topik yang hangat di
bicarakan belakangan ini. Menurut Prof Suyanto Ph.D dalam web yang
penulis akses, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri
khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu
yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang ia buat.
Pembentukan
karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas
tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan
akhlak mulia. Amanah
UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk
insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter,
sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan
karakter di nilai sangat penting untuk di mulai pada anak usia dini atau
Sekolah Dasar karena pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang
ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan
akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya
dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh,
amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar,
berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan
bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke
depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung
jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis,
efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur, kesatria, komitmen,
kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri,
manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai
kesehatan, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf,
pemurah, pengabdian, berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah,
rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya
diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap
mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif,
susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat
janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya.
Sejatinya
pendidikan karakter ini memang sangat penting dimulai sejak dini. Sebab
falsafah menanam sekarang menuai hari esok adalah sebuah proses yang harus
dilakukan dalam rangka membentuk karakter anak bangsa. Pada usia kanak-kanak
atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age) terbukti sangat menentukan
kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi
ketika anak berusia empat tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada
usia delapan tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa
kedua.
Dari sini, sudah
sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan
lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Setelah keluarga, di dunia
pendidikan karakter ini sudah harus menjadi ajaran wajib sejak sekolah dasar.
Anak-anak
adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter
anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa
di kemudian hari. Karakter anak-anak akan terbentuk dengan baik, jika dalam
proses tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup ruang untuk mengekspresikan diri
secara leluasa.
I.
Pendidikan
Karakter dalam Pembelajaran PKn
PKn sebagai
pendidikan karakter merupakan salah satu misi yang harus diemban. Misi lain
adalah sebagai pendidikan politik/pendidikan demokrasi, pendidikan hukum,
pendidikan HAM, dan bahkan sebagai pendidikan anti korupsi. Dibandingkan dengan
mata pelajaran lain, mata pelajaran PKn dan Agama memiliki posisi sebagai ujung
tombak dalam pendidikan karakter. Maksudnya dalam kedua mata pelajaran itu, pendidikan karakter harus menjadi tujuan
pembelajaran. Perubahan karakter peserta didik merupakan usaha yang
disengaja/direncakan, bukan sekedar dampak ikutan/pengiring (Draf Panduan Guru
Mata pelajaran PKn, 2010). Hal ini dapat ditunjukkan bahwa komponen PKn adalah
pengetahuan, keterampilan dan karakter kewarganegaraan. Dengan kata lain, tanpa
ada kebijakan pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam berbagai mata
pelajaran, PKn harus mengembangkan pendidikan karakter (Winataputra, 2007;
Budimansyah, 2007). Lebih-lebih dengan adanya kebijakan pengembangan pendidikan
karakter yang terintegrasi, maka hal ini merupakan tantangan untuk menunjukkan
bahwa PKn sebagai ujung tombak yang tajam bukan tumpul bagi pendidikan
karakter.
PKn sebagai
pendidikan karakter dapat dikenali dari konsep, tujuan, fungsi, tuntutan
kualifikasi dan keunikan PKn itu sendiri. PKn (Civic Education) adalah
pembelajaran yang menggugah rasa ingin tahu dan kepercayaan (trust) terhadap
norma–norma sosial yang mengatur hubungan personal dalam masyarakat sebagaimana
mengatur partisipasi politik (Alberta, 2005). PKn merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 194”. Adapun
tujuan PKn bagi siswa adalah agar peserta didik memiliki kemampuan:
1) Berpikir
kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan;
2) Berpartisipasi
secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi;
3) Berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
4) Berkembang
secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter
masyarakat agar dapat hidup bersama dengan bangsa lainnya;
Sementara fungsi PKn adalah sebagai
wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan
dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila
dan UUD 1945 (Cholisin, 2011). Dalam kaitan itu, pemerintah melalui
Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi
Guru, memberikan standar kualifikasi kompetensi guru PKn yang bersifat
khusus meliputi: (1) memahami materi,
struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan
yang mendukung mata pelajaran PKn;
(2) memahami substansi PKn yang
meliputi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), nilai dan sikap
kewarganegaraan (civic disposition), dan keterampilan kewarganegaraan (civic
skills); dan (3) menunjukkan manfaat mata pelajaran PKn. Keunikan PKn yang demikian
digambarkan oleh Potter (2002), yaitu memiliki tiga keunikan
yang membedakannya dengan mata pelajaran lain, yaitu: (1) linked with other
subject, maksudnya sekolah harus mendukung secara eksplisit untuk mengkaitkan
PKn dengan mata pelajaran lain; (2) a
way of life, maksudnya PKn harus mengakar dalam pandangan hidup dan etos
sekolah secara keseluruhan; dan (3) partcipation, maksudnya PKn memerlukan
generasi muda (young people) untuk belajar melalui partisipasi dan pengalaman
nyata.
Secara komprehensif, Cholisin (2011) menguraikan komponen substansi PKn
yang meliputi: pengetahuan kewarganegaraan, ketrampilan kewarganegaraan dan
karakter kewarganegaraan. Dengan demikian PKn telah memiliki kawasan
pembelajaran sendiri yang khas. Hal ini disebabkan dalam taksonomi Bloom,
karakter merupakan aspek afektif, padahal karakter tidak hanya memiliki dimensi
sikap tetapi juga perilaku/tindakan yang telah menjadi watak/perilaku
sehari-hari. Begitu pula ketrampilan kewarganegaraan yang pada intinya merupakan
ketrampilan partisipasi/keterampilan sosial (versi CCE termasuk di dalamnya
ketrampilan intelektual), tidak terdapat dalam taksonomi Bloom. Hal ini yang
merupakan latar belakang PKn harus memiliki kawasan pembelajaran yang merupakan
komponen substansi PKn. Terkait dengan hal itu, proses pendidikan karakter
didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu
manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio-kultural
dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan
masyarakat.Adapun nilai-nilai karakter untuk mata pelajaran PKn meliputi nilai
karakter pokok dan nilai karakter utama. Nilai karakter pokok meliputi;
kereligiusan, kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, kedemokratisan, dan
kepedulian. Sedangkan nilai karakter utama
meliputi: nasionalis, kepatuhan
pada aturan sosial, menghargai keberagaman, kesadaran akan hak dan kewajiban
diri dan orang lain, bertanggungjawab, berpikir logis, kritis, kreatif,
inovatif, dan kemandirian (Dirjendikmen, 2011).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penanaman Nilai
– Nilai Menghargai dan Menghormati Perbedaan dalam Pembelajaran Pkn di Sekolah
Dasar Melalui Model VCT ( Value Clarification Tehnique) adalah salah satu
teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan nilai.
Djahiri (1979: 115) mengemukakan bahwa Value Clarification Technique,
merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/ mengungkapkan
nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik.
Pendidikan Karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kami
Pendidikan
karakter di nilai sangat penting untuk di mulai pada anak usia dini atau
Sekolah Dasar karena pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang
ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan
akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Sudah sepatutnya
pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan
pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Setelah keluarga, di dunia pendidikan
karakter ini sudah harus menjadi ajaran wajib sejak sekolah dasar.
Pendidikan karakter dalm pembelajaran PKn sebagai ujung
tombak dalam pendidikan karakter., pendidikan karakter harus menjadi tujuan
pembelajaran. Perubahan karakter peserta didik merupakan usaha yang
disengaja/direncakan, bukan sekedar dampak ikutan/pengiring. Pembelajaran PKn
yang menggugah rasa ingin tahu dan kepercayaan (trust) terhadap norma–norma
sosial yang mengatur hubungan personal dalam masyarakat sebagaimana mengatur
partisipasi politik . PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajiban untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 194”.
DAFTAR PUSTAKA
Fatmawati , Nastiti
Linda , 2012 , Sumbangan Pkn Terhadap
Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar http://nalfamigi.blogspot.co.id/2012/10/sumbangan-pkn-terhadap-pendidikan.html. Diakses pada tanggal 26 november 2015
Susiatik
, Titik, 2013, Pengaruh Pembelajaran PKn Terhadap Pembentukan Karakter Siswa
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=251820&val=6766&title=Pengaruh%20Pembelajaran%20PKn%20Terhadap%20Pembentukan%20Karakter%20Siswa.Diakses pada tanggal 26 November 2015
https://eprints.uns.ac.id/20715/3/bab2.pdf.
Diakses pada tanggal 26 November 2015
0 komentar:
Posting Komentar